Pertama , banyak orang memahami bahwa sholat
istikharah hanya disyariatkan ketika sedang
bimbang atau ragu antara dua atau beberapa
pilihan. Padahal ini tidak benar, sebab Rasulullah
saw bersabda dalam haditsnya: “Idzaa hamma
ahadukum bil amr (Apabila salah seorang kalian
menginginkan suatu perkara).” Dalam hadits ini,
Rasulullah menggunakan kata
‘hamma’ (menginginkan) yang merupakan satu
tingkatan dibawah ‘azama’ (bertekad), dan beliau
tidak mengatakan: “Jika salah seorang kalian
bimbang atau ragu…”
Dengan demikian, jika seorang muslim
berkeinginan untuk melakukan sesuatu, dan tidak
ada dua atau beberapa pilihan dihadapannya
kecuali satu pilihan saja yang ingin ia lakukan,
maka hendaknya ia melakukan istikharah
mengenai keinginannya untuk melakukan sesuatu
tersebut. Dan jika seorang muslim berkeinginan
untuk meninggalkan sesuatu, maka hendaklah ia
juga melakukan istikharah mengenai keinginannya
meninggalkan sesuatu tersebut. Pendek kata,
yang penting adalah bagaimana seseorang
terlebih dulu memiliki keinginan, baru kemudian
setelah itu ia ber-istikharah mengenai
keinginannya tersebut.
Oleh karena itu, jika dihadapan seseorang
terdapat dua atau banyak pilihan, maka
hendaknya ia terlebih dahulu – setelah
bermusyawarah dengan orang-orang yang
dipandang lebih paham – menentukan satu
pilihan. Baru setelah itu hendaknya ia ber-
istikharah atas pilihannya tersebut. Jika
meninggalkan semua pilihan juga termasuk
pilihan, maka itu juga sebuah pilihan, yang jika
sudah diputuskan hendaknya diistikharahi. Namun
ada kasus-kasus tertentu, ketika seseorang
dihadapkan pada dua atau beberapa pilihan, ia
harus memilih salah satu dan tidak mungkin tidak
memilih sama sekali. Dalam hal ini, hendaknya ia
melakukan istisyarah (berembug), lalu
menetapkan satu pilihan, dan setelah itu ber-
istikharah.
Kedua, banyak orang memahami bahwa istikharah
hanya dilakukan untuk urusan-urusan seperti
jodoh, pergi keluar pulau (atau bahkan keluar
negeri), dan urusan-urusan ‘besar’ lainnya.
Padahal ini tidak benar. Rasulullah saw bersabda
dalam haditsnya: “Kaana yu’allimunaa al-
istikharah fil umuuri kullihaa (Rasulullah saw
telah mengajari kami – yakni para sahabat –
untuk melakukan istikharah dalam segala
urusan).” Dan Rasulullah saw tidak mengatakan:
“dalam sebagian urusan” atau “dalam urusan-
urusan penting”.
Kesalahpahaman ini menjadikan kebanyakan
orang tidak gemar melakukan istikharah. Mereka
akhirnya tidak melakukan istikaharah dalam
masalah-masalah yang mereka anggap kecil,
sepele, atau tidak penting.
Ketiga , kebanyakan orang memahami bahwa
sholat istikharah haruslah sholat dua rakaat yang
khusus (tersendiri). Padahal sebenarnya tidak
demikian. Rasulullah saw bersabda dalam hadits
beliau: “Falyarka’ rak’ataini min ghairil faridhah
(Maka hendaklah ia sholat dua rakaat yang bukan
sholat fardhu).” Kata-kata ‘dua rakaat yang
bukan sholat fardhu’ bersifat umum (karena
memang tidak ada pengkhususan), yang berarti
meliputi pula sholat tahiyyatul masjid, sholat
sunnah rawatib, sholat dhuha, sholat sunnah
wudhu, sholat tahajjud, dan sholat-sholat sunnah
lainnya. Meski demikian, kalau sholat dua rakaat
tersebut hendak dilakukan secara khusus
(tersendiri) juga tidak apa-apa.
Keempat , kebanyakan orang memahami bahwa
mesti muncul perasaan lapang dada untuk
melakukan apa yang kita inginkan, setelah
dilaksanakannya istikharah. Ini juga tidak ada
dalilnya. Karena istikharah pada dasarnya adalah
‘memasrahkan’ urusan kepada Allah, termasuk
ketika seseorang kurang senang dengan urusan
tersebut (sepanjang ia sudah menetapkannya
sebagai pilihan). Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu
padahal sesuatu itu baik bagi kalian, dan bisa
jadi kalian menyukai sesuatu padahal sesuatu itu
buruk bagi kalian. Dan Allah Mengetahui
sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS Al-
Baqarah: 216)
Pemahaman yang keliru ini menjadikan banyak
orang tetap berada dalam keadaan bingung dan
bimbang terhadap pilihannya, meski ia sudah
melakukan istikharah. Bahkan tidak sedikit yang
telah mengulang-ulang istikharahnya, namun
tidaklah bertambah pada dirinya kecuali perasaan
bingung dan bimbang karena ia tidak
mendapatkan kelapangan dada untuk
melaksanakan pilihannya. Padahal istikharah itu
sejatinya justru dilakukan untuk menghilangkan
kebingungan dan kebimbangan seperti itu.
Sebagian orang juga mengatakan bahwa
berhasilnya istikharah adalah jika muncul
perasaan ‘plong’ (yang diartikan persetujuan dari
Allah) atau perasaan ‘mengganjal’ (yang
diartikan ketidaksetujuan Allah). Ini juga tidak
benar, maksudnya tidak harus. Sebab, tidak
sedikit orang-orang yang telah melaksanakan
istikharah dengan benar namun ia sama sekali
tidak merasakan apa-apa.
Yang benar adalah, dengan istikharah Allah akan
memudahkan dan menyampaikan seseorang pada
pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut
baik baginya) atau Allah memalingkan dan
menjauhkan seseorang dari pilihannya (jika Allah
memandang pilihan tersebut tidak baik baginya).
Saya rasa, inilah pemahaman yang tepat, sesuai
dengan isi doa istikharah itu sendiri. Wallahu
A’lam.
Kelima , banyak orang memahami bahwa setelah
seseorang melakukan istikharah, ia mesti melihat
mimpi yang memberi isyarat bahwa pilihannya itu
benar, atau salah. Ini tidak ada dalilnya. Yang
benar, sesudah melakukan istikharah, sebaiknya
seseorang langsung bergegas menunaikan
pilihannya sambil ‘memasrahkan diri’ kepada
Allah. Adapun jika seseorang mendapatkan mimpi
yang benar, yang memberikan isyarat bahwa
pilihannya itu benar, maka itu adalah karunia dan
petunjuk yang datang dari Allah. Namun jika ia
tidak mendapatkan mimpi, tidak selayaknya ia
urung menunaikan pilihannya dengan alasan
menunggu mimpi.
Kamis, 18 Agustus 2016
Salah Faham Soal Sholat Istikharah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar