Kamis, 18 Agustus 2016

Salah Faham Soal Sholat Istikharah


Pertama , banyak orang memahami bahwa sholat
istikharah hanya disyariatkan ketika sedang
bimbang atau ragu antara dua atau beberapa
pilihan. Padahal ini tidak benar, sebab Rasulullah
saw bersabda dalam haditsnya: “Idzaa hamma
ahadukum bil amr (Apabila salah seorang kalian
menginginkan suatu perkara).” Dalam hadits ini,
Rasulullah menggunakan kata
‘hamma’ (menginginkan) yang merupakan satu
tingkatan dibawah ‘azama’ (bertekad), dan beliau
tidak mengatakan: “Jika salah seorang kalian
bimbang atau ragu…”
Dengan demikian, jika seorang muslim
berkeinginan untuk melakukan sesuatu, dan tidak
ada dua atau beberapa pilihan dihadapannya
kecuali satu pilihan saja yang ingin ia lakukan,
maka hendaknya ia melakukan istikharah
mengenai keinginannya untuk melakukan sesuatu
tersebut. Dan jika seorang muslim berkeinginan
untuk meninggalkan sesuatu, maka hendaklah ia
juga melakukan istikharah mengenai keinginannya
meninggalkan sesuatu tersebut. Pendek kata,
yang penting adalah bagaimana seseorang
terlebih dulu memiliki keinginan, baru kemudian
setelah itu ia ber-istikharah mengenai
keinginannya tersebut.
Oleh karena itu, jika dihadapan seseorang
terdapat dua atau banyak pilihan, maka
hendaknya ia terlebih dahulu – setelah
bermusyawarah dengan orang-orang yang
dipandang lebih paham – menentukan satu
pilihan. Baru setelah itu hendaknya ia ber-
istikharah atas pilihannya tersebut. Jika
meninggalkan semua pilihan juga termasuk
pilihan, maka itu juga sebuah pilihan, yang jika
sudah diputuskan hendaknya diistikharahi. Namun
ada kasus-kasus tertentu, ketika seseorang
dihadapkan pada dua atau beberapa pilihan, ia
harus memilih salah satu dan tidak mungkin tidak
memilih sama sekali. Dalam hal ini, hendaknya ia
melakukan istisyarah (berembug), lalu
menetapkan satu pilihan, dan setelah itu ber-
istikharah.
Kedua, banyak orang memahami bahwa istikharah
hanya dilakukan untuk urusan-urusan seperti
jodoh, pergi keluar pulau (atau bahkan keluar
negeri), dan urusan-urusan ‘besar’ lainnya.
Padahal ini tidak benar. Rasulullah saw bersabda
dalam haditsnya: “Kaana yu’allimunaa al-
istikharah fil umuuri kullihaa (Rasulullah saw
telah mengajari kami – yakni para sahabat –
untuk melakukan istikharah dalam segala
urusan).” Dan Rasulullah saw tidak mengatakan:
“dalam sebagian urusan” atau “dalam urusan-
urusan penting”.
Kesalahpahaman ini menjadikan kebanyakan
orang tidak gemar melakukan istikharah. Mereka
akhirnya tidak melakukan istikaharah dalam
masalah-masalah yang mereka anggap kecil,
sepele, atau tidak penting.
Ketiga , kebanyakan orang memahami bahwa
sholat istikharah haruslah sholat dua rakaat yang
khusus (tersendiri). Padahal sebenarnya tidak
demikian. Rasulullah saw bersabda dalam hadits
beliau: “Falyarka’ rak’ataini min ghairil faridhah
(Maka hendaklah ia sholat dua rakaat yang bukan
sholat fardhu).” Kata-kata ‘dua rakaat yang
bukan sholat fardhu’ bersifat umum (karena
memang tidak ada pengkhususan), yang berarti
meliputi pula sholat tahiyyatul masjid, sholat
sunnah rawatib, sholat dhuha, sholat sunnah
wudhu, sholat tahajjud, dan sholat-sholat sunnah
lainnya. Meski demikian, kalau sholat dua rakaat
tersebut hendak dilakukan secara khusus
(tersendiri) juga tidak apa-apa.
Keempat , kebanyakan orang memahami bahwa
mesti muncul perasaan lapang dada untuk
melakukan apa yang kita inginkan, setelah
dilaksanakannya istikharah. Ini juga tidak ada
dalilnya. Karena istikharah pada dasarnya adalah
‘memasrahkan’ urusan kepada Allah, termasuk
ketika seseorang kurang senang dengan urusan
tersebut (sepanjang ia sudah menetapkannya
sebagai pilihan). Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu
padahal sesuatu itu baik bagi kalian, dan bisa
jadi kalian menyukai sesuatu padahal sesuatu itu
buruk bagi kalian. Dan Allah Mengetahui
sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS Al-
Baqarah: 216)
Pemahaman yang keliru ini menjadikan banyak
orang tetap berada dalam keadaan bingung dan
bimbang terhadap pilihannya, meski ia sudah
melakukan istikharah. Bahkan tidak sedikit yang
telah mengulang-ulang istikharahnya, namun
tidaklah bertambah pada dirinya kecuali perasaan
bingung dan bimbang karena ia tidak
mendapatkan kelapangan dada untuk
melaksanakan pilihannya. Padahal istikharah itu
sejatinya justru dilakukan untuk menghilangkan
kebingungan dan kebimbangan seperti itu.
Sebagian orang juga mengatakan bahwa
berhasilnya istikharah adalah jika muncul
perasaan ‘plong’ (yang diartikan persetujuan dari
Allah) atau perasaan ‘mengganjal’ (yang
diartikan ketidaksetujuan Allah). Ini juga tidak
benar, maksudnya tidak harus. Sebab, tidak
sedikit orang-orang yang telah melaksanakan
istikharah dengan benar namun ia sama sekali
tidak merasakan apa-apa.
Yang benar adalah, dengan istikharah Allah akan
memudahkan dan menyampaikan seseorang pada
pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut
baik baginya) atau Allah memalingkan dan
menjauhkan seseorang dari pilihannya (jika Allah
memandang pilihan tersebut tidak baik baginya).
Saya rasa, inilah pemahaman yang tepat, sesuai
dengan isi doa istikharah itu sendiri. Wallahu
A’lam.
Kelima , banyak orang memahami bahwa setelah
seseorang melakukan istikharah, ia mesti melihat
mimpi yang memberi isyarat bahwa pilihannya itu
benar, atau salah. Ini tidak ada dalilnya. Yang
benar, sesudah melakukan istikharah, sebaiknya
seseorang langsung bergegas menunaikan
pilihannya sambil ‘memasrahkan diri’ kepada
Allah. Adapun jika seseorang mendapatkan mimpi
yang benar, yang memberikan isyarat bahwa
pilihannya itu benar, maka itu adalah karunia dan
petunjuk yang datang dari Allah. Namun jika ia
tidak mendapatkan mimpi, tidak selayaknya ia
urung menunaikan pilihannya dengan alasan
menunggu mimpi.

Rabu, 17 Agustus 2016

Adab-Adab Tidur Sesuai Sunnah Rasululah Saw

Adab-Adab Tidur Sesuai Sunnah Rasululah Saw

Adab Tidur

Ada ungkapan bahwa tidur adalah saudaranya kematian. Artinya, orang yang tidur sebenarnya harus punya persiapan seperti orang yang akan menghadapi kematian. Orang yang tidur tentunya meninggalkan harta, anak, istri, dan segalanya. Hal ini sama seperti orang yang mati yang tidak akan membawa apa-apa yang “merasa dimilikinya” di dunia. Oleh karena itu, supaya tidur kita bernilai ibadah dan seandainya ketika kita tidur kemudian tidak bangun lagi, tetapi langsung dibangunkan oleh malaikat dan disiapkan tempat di surga, maka hendaknya kita tidur mengikuti perilaku Rasulullah Saw. Kebiasaan Rasulullah Saw merupakan teladan terbaik bagi umat Islam, tidak terkecuali dalam masalah tidur. Beliau dalam beberapa haditsnya memberikan teladan kepada para sahabatnya yang juga bermanfaat bagi kita, umat akhir zaman. Berikut ini Sunnah Rasulullah saw dalam masalah tidur:
–          Menutup Pintu, Memadamkan Api (Lampu), dan Menutup Bejana
Dianjurkan bagi seorang muslim untuk menutup pintu, memadamkan api (lampu), dan menutup bejana yang ada di rumahnya sebelum tidur. Hikmahnya adalah kita tidak menghambur-hamburkan uang karena masih menyalanya lampu, dan kita melindungi setiap wadah dari kejatuhan hal-hal yang tidak kita inginkan. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Padamkanlah lampu di malam hari apabila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana makanan dan minuman.”(HR Bukhari-Muslim).
–          Berwudhu
Berwudhu sebelum tidur memiliki hikmah bahwa ketika kita bersiap untuk mati, maka kita mati dalam keadaan suci. Anjuran untuk berwudhu sebelum tidur dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Al Bara’ bin ‘Azib bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
–          Membersihkan Tempat Tidur
Dianjurkan pula untuk mengibaskan kain pada tempat tidur sebanyak tiga kali sebelum berbaring. Hal ini memiliki hikmah, seandainya ada binatang melata atau hal-hal yang tidak kita inginkan ada di tempat tidur, maka semuanya sudah kita bersihkan. Anjuran ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengibaskan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya…”. Di dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa jumlah kibasan yang dianjurkan adalah sebanyak tiga kali (HR. Bukhari dan Muslim).
–          Berbaring pada Bagian Kanan Badan
Posisi awal yang dianjurkan ketika tidur adalah dengan menumpukan badan pada bagian kanan badan dan dianjurkan pula untuk menjadikan tangan kanan sebagai bantal untuk kepala. Menurut penelitian medis, posisi seperti itu sangat baik untuk pencernaan selama proses istirahat. Hal ini berdasarkan hadits yang telah dibawakan di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur beliau meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban). Adapun ketika telah terlelap tidak mengapa jika posisi badan berubah.
–          Membaca Beberapa Surat/Ayat Al Qur’an
Ada beberapa surat/ayat yang dianjurkan untuk dibaca menjelang tidur. Diantaranya:
Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas, ‘Aisyah radhiyallahu‘anha berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya, lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari)
Ayat Kursi, hal ini berdasarkan hadits yang diriwiyatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (HR. Bukhari).
Dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah,berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam Barangsiapa membaca dua ayat tersebut pada malam hari, maka dua ayat tersebut telah mencukupkan-nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Surat Al Kafirun, berdasarkan sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkan sahabat Naufal untuk membaca surat Al Kafirun sebelum tidur (HR Abu Dawud, Ahmad, dan At Tirmidzi).
Surat Al Mulk dan As Sajdah, hal ini berdasarkan penjelasan sahabat Jabir bin Abdillah, beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidur sampai beliau membaca alif lam mim tanzilus sajdah (surat As Sajdah) dan Tabarokalladzi biyadihil mulk (surat Al Mulk)” (HR Bukhari).
Mengenai surat-surat tersebut, maka membacanya tergantung dari kemampuan kita. Akan lebih baik lagi jika kita mau berlatih sehingga bisa mengamalkan Sunnah Rasulullah Saw secara sempurna.
–          Membaca Do’a Sebelum Tidur
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajari kita untuk membaca doa sebelum tidur. Doa tersebut adalah “Bismika Allahumma ahyaa wa amuut. (Dengan menyebut nama-Mu, Ya Allah, aku hidup dan mati.”
Boleh juga ditambah dengan doa “Bismikarabbii wa dho’tu jambii wa bika arfa’uhu in amsakta nafsii farhamhaa wa in arsaltahaa fahfazhhaa bimaa tahfazha bihi ‘ibaadakasshaalihiin. (Dengan menyebut nama-Mu wahai Tuhanku, aku letakkan lambungku. Dengan nama-Mu aku mengangkatnya. Seandainya Engkau menahan nafasku maka kasihanilah ia dan apabila Engkau membiarkannya maka jagalah ia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hambaMu yang shalih.” (HR Bukhari dan Muslim)
–          Menjauhi Hal-hal Makruh
Ada beberapa hal yang makruh yang sepatutnya dijauhi untuk dilakukan sebelum tidur. Diantaranya:
Makruh tidur di atas dak terbuka, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat `Ali bin Syaiban bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya” (HR. Bukhari).
Makruh tidur dalam posisi telungkup (perut sebagai tumpuan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Sesungguhnya cara berbaring seperti ini (telungkup) adalah cara berbaringnya penghuni neraka“. (HR Ibnu Majah)